Oleh: Tasya Amanda Putri, Mahasiswa Universitas Indonesia
Dalam langkah berani dan penuh kejutan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kebijakan pembebasan bea masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk 19 jenis barang impor dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Core Tax System.
PMK tersebut telah ditandatangani oleh
Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 14 Oktober 2024 dan telah diundangkan pada 18 Oktober
2024. Namun, pelaksanaan peraturan ini mulai berlaku pada 1 Januari 2025 mendatang.
Pemerintah menerbitkan PMK Nomor 81 tahun 2024 dalam rangka melaksanakan pembaruan
sistem administrasi perpajakan yang lebih transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan fleksibel.
Dengan diterbitkannya peraturan ini, diharapkan penerimaan negara dari pajak akan dapat
meningkat. Selain itu, PMK ini juga menata berbagai peraturan perpajakan melalui penyesuaian pendaftaran wajib pajak, pengukuhan pengusaha kena pajak, pembayaran dan penyetoran pajak, pelaporan pajak, serta layanan administrasi perpajakan.
Dan salah satu hal yang diatur dalam PMK ini adalah mengenai 19 barang impor yang dibebaskan dari pungutan bea masuk maupun PPN.
Kebijakan pembebasan bea masuk ini tentu saja menjadi topik hangat yang memunculkan
perdebatan dari berbagai kalangan, dan sering dianggap sebagai pedang bermata dua. Di satu
sisi, kebijakan ini dipandang sebagai strategi berani pemerintah untuk stimulus ekonomi, yaitu
alat untuk mendorong investasi dan mendukung kebutuhan industri yang kekurangan pasokan.
Sedangkan di sisi lain, kebijakan ini memunculkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap
industri lokal. Lalu, apakah kebijakan ini merupakan langkah jitu pemerintah sebagai stimulus ekonomi, atau justru kebijakan ini menjadi ancaman yang dapat mengguncang fondasi industri lokal?.
Ketika bea masuk dihapuskan, maka barang impor dapat masuk secara bebas ke pasar dalam
negeri dengan harga yang lebih kompetitif dan kualitas unggul. Konsumen tentu saja akan lebih
banyak yang memilih untuk beralih ke produk impor tersebut dan meninggalkan produk lokal.
Hal ini seperti membuka gerbang banjir yang siap menghantam dinding-dinding rapuh industri
lokal yang tidak mampu bersaing dengan harga produk impor yang lebih rendah.
Akibatnya, terdapat potensi lonjakan barang impor yang dapat menyebebabkan ketergantungan pada
produk impor, sehingga menghambat perkembangan dan memperlemah kemandirian industri lokal.
Di samping itu, industri lokal yang masih harus beroperasi dengan mesin-mesin tua dan biaya
produksi yang lebih tinggi, dihadapkan pada persaingan yang tidak adil dengan produk impor
yang diproduksi dengan teknologi canggih dan biaya yang rendah.
Hal ini menyebabkan industri lokal tidak dapat bersaing dan tertinggal dari produk impor yang harganya lebih murah dengan kualitas unggul tersebut, sehingga menyebabkan banyak konsumen dalam negeri yang beralih ke produk impor.
Oleh karena itu, pembebasan bea masuk atas 19 barang impor ini mungkin terlihat seperti keuntungan bagi konsumen. Akan tetapi, implikasinya dalam jangka panjang adalah terdapat kemungkinan runtuhnya rantai pasokan lokal, menurunnya produksi dalam negeri, dan berkurangnya lapangan pekerjaan.
Ketika hal tersebut terjadi, maka tidak hanya produsen lokal saja yang mengalami kerugian, tetapi juga menjadi mimpi buruk bagi perekonomian nasional.
Namun, bukan berarti pembebasan bea masuk atas 19 barang impor ini sepenuhnya harus
dihindari. Tantangannya tersebut terletak pada bagaimana kebijakan ini dirancang dan
diimplementasikan.
Dalam era globalisasi dan rantai pasok dunia yang semakin terintegrasi, terdapat jenis barang-barang yang memang tidak dapat diproduksi secara efisien di dalam negeri. Oleh karena itu, di sinilah kebijakan Sri Mulyani berupaya menjadi solusi dengan memberikan akses yang lebih mudah bagi industri yang membutuhkan komponen spesifik dari luar negeri dengan harga yang lebih rendah, sehingga industri lokal dapat menekan biaya
produksi dan harga produknya juga menjadi lebih murah.
Selain itu, pembebasan bea masuk ini juga berpotensi dalam mendorong inovasi dan efisiensi
karena produsen dalam negeri dapat mengakses teknologi serta komponen canggih yang sebelumnya terlalu mahal, sehingga sektor-sektor strategis dapat berkembang lebih cepat. Hal
ini dapat mendorong industri lokal untuk dapat meningkatkan produktivitasnya, sehingga dapat
bersaing di pasar internasional.
Untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak menjadi pisau bermata dua yang tajam di salah
satu sisi saja, pemerintah harus mengiringinya dengan kebijakan pendukung bagi industri lokal,
seperti perlindungan terhadap sektor-sektor strategis.
Tanpa adanya kebijakan pendukung tersebut, kebijakan pembebasan bea masuk ini bisa jadi hanya menciptakan kesenjangan ekonomi yang lebih lebar, di mana importir memperoleh keuntungan besar, sementara industri
dalam negeri dipaksa untuk menjadi penonton di tanahnya sendiri.
Pada akhirnya, kebijakan ini seharusnya bukan hanya tentang mempermudah masuknya barang
impor saja, melainkan tentang bagaimana membangun ekosistem yang sehat di mana produk lokal dan impor bisa berkompetisi secara adil. Kebijakan yang cerdas itu seharusnya
menciptakan ekosistem yang baik, di mana produk impor dapat merangsang persaingan sehat tanpa menggerus potensi lokal. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyeimbangkan skala
ekonomi ini dengan teliti, sehingga stimulus ekonomi yang diimpikan tidak berujung menjadi
ancaman yang dapat merusak struktur industri lokal dan mengikis kemandirian ekonomi
nasional.