Cukai biasanya dikenakan pada barang-barang yang dianggap berdampak negatif terhadap kesehatan, lingkungan, atau memiliki potensi untuk menimbulkan penyalahgunaan, seperti rokok, minuman beralkohol, atau produk-produk lain yang dapat merugikan masyarakat jika dikonsumsi secara berlebihan.
Salah satu yang dikenakan cukai yaitu minuman berpemanis. Minuman ini telah menjadi bagian dari tren konsumsi di berbagai kalangan masyarakat. Meskipun terlihat menyegarkan, minuman berpemanis sebenarnya memiliki dampak yang berbahaya bagi kesehatan karena kandungan kalori dan gula yang sangat tinggi, sementara kandungan nutrisi atau zat gizi yang dibutuhkan tubuh sangat minim. Konsumsi yang berlebihan terhadap SSB berisiko meningkatkan terjadinya obesitas pada anak-anak, yang kemudian dapat memicu berbagai masalah kesehatan serius (Febriyanti, Lufiana, & Nasution, 2023).
Cukai Minuman Berpemanis atau yang dikenal dengan Sugar-Sweetened Beverages (SSBs) adalah jenis cukai yang dikenakan oleh pemerintah pada minuman yang mengandung gula tambahan, seperti minuman manis, soda, minuman energi, dan minuman lainnya yang diproses dengan tambahan pemanis. Tujuan utama dari cukai ini adalah untuk mengurangi konsumsi gula berlebih, yang dapat berdampak negatif bagi kesehatan, seperti meningkatkan risiko diabetes, obesitas, dan penyakit jantung.
Cukai pada minuman berpemanis dapat diterapkan dalam bentuk pajak berdasarkan jumlah gula yang terkandung dalam minuman tersebut, atau berdasarkan volume atau nilai jual dari produk tersebut. Dengan meningkatkan harga minuman berpemanis melalui cukai, diharapkan masyarakat akan lebih sadar akan risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh konsumsi gula berlebih dan beralih ke pilihan minuman yang lebih sehat, seperti air mineral atau minuman rendah gula (Akhriani, Fadhilah, & Kurniasari, 2016).
Negara yang Menerapkan Cukai Minuman Berpemanis
Lebih dari 40 negara di dunia telah memberlakukan cukai minuman berpemanis. Berbagai negara telah menunjukkan bahwa kebijakan cukai ini berhasil mengurangi pembelian dan konsumsi minuman berpemanis.
1. Meksiko
Meksiko menerapkan cukai pada minuman berpemanis pada Januari 2014 sebesar 1 peso per liter dengan tujuan untuk menekan tingginya angka obesitas dan diabetes. Dampak dari penerapan cukai ini, penjualan SSBs di Meksiko menurun sebanyak 6-8% dan penjualan minuman yang tidak terkena cukai meningkat sebanyak 4-6%. Keberhasilan pungutan cukai telah berakibat pada kenaikan harga-harga di minuman ringan berpemanis dan berhasil mengurangi pembelian sekaligus konsumsi SSBs di Meksiko. Keberhasilan ini membuat Meksiko menjadi model bagi negara-negara lain yang ingin menerapkan kebijakan serupa.
2. Inggris
Di Inggris, kebijakan cukai yang diterapkan pada tahun 2018. Tarif cukai diberlakukan secara progresif, semakin tinggi kadar gula dalam minuman, semakin besar pula cukai yang dikenakan. Untuk minuman dengan total gula 5-8 gram/100 ml dikenakan tarif sebesar 0.18 GBP per liter dan untuk minuman dengan gula lebih dari 8 gram/100 ml dikenakan tarif 0.24 GBP per liter. Kebijakan ini memaksa produsen untuk menurunkan kandungan gula dalam produk mereka demi menghindari tarif cukai yang tinggi. Hasilnya, terjadi penurunan kadar gula dalam produk minuman di pasaran Inggris. Selama dua tahun diberlakukan, produsen mengurangi 45 juta kilogram gula dalam produk mereka. Selain mengurangi konsumsi, kebijakan ini juga berhasil mendorong inovasi produk yang lebih sehat.
3. Filipina
Filipina juga menerapkan cukai pada minuman berpemanis sejak Januari 2018. Kebijakan ini dikenakan pada semua minuman berpemanis, termasuk minuman bersoda, jus, dan teh kemasan. Dampaknya, Filipina mengalami penurunan signifikan dalam konsumsi minuman berpemanis dan peningkatan pendapatan negara yang dapat digunakan untuk pembiayaan kesehatan masyarakat. Hasil ini menunjukkan bahwa kebijakan cukai dapat menjadi sumber pendapatan pemerintah sekaligus membantu mengurangi masalah kesehatan.
4. Afrika Selatan
Afrika Selatan menerapkan cukai minuman berpemanis atau yang disebut Health Promotion Levy pada tahun 2018 sebesar 10% dengan tujuan untuk mengurangi risiko kesehatan dari konsumsi gula berlebihan. Minuman berpemanis yang memiliki kadar kandungan gula lebih dari 4 gram per 100 mililiter akan dikenakan biaya 2.1 cent per gram. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2021 untuk mengetahui bagaimana cukai minuman berpemanis berdampak pada konsumsi, peneliti menemukan bahwa konsumsi minuman berpemanis turun dari 518,99 mililiter per kapita per hari menjadi 443,39 mililiter per kapita per hari. Rumah tangga dengan tingkat sosial ekonomi rendah mengalami penurunan konsumsi lebih besar setelah penerapan cukai.
Faktor Penentu Keberhasilan Cukai Minuman Berpemanis
Keberhasilan penerapan cukai pada minuman berpemanis di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Edukasi kepada masyarakat tentang bahaya konsumsi gula berlebih sangat penting untuk mendorong perubahan perilaku konsumsi. Penetapan tarif cukai yang seimbang, pengawasan yang ketat, serta penegakan hukum yang efektif juga penting untuk memastikan kebijakan ini berjalan dengan baik. Dukungan dari sektor industri untuk menawarkan alternatif minuman yang lebih sehat, serta alokasi pendapatan cukai untuk program kesehatan publik, dapat memperkuat dampak positifnya.
Selain itu, penting juga untuk menyesuaikan kebijakan ini dengan budaya lokal dan kebiasaan konsumsi masyarakat, agar transisi menuju pola konsumsi yang lebih sehat dapat berjalan lancar. Dengan koordinasi yang baik antara pemerintah, masyarakat, dan sektor terkait, kebijakan ini berpotensi berhasil dalam mengurangi konsumsi gula dan meningkatkan kesehatan masyarakat.
Peluang dan Tantangan Penerapan Cukai Minuman Berpemanis di Indonesia
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui pengenaan cukai minuman berpemanis dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) 2025, tetapi kebijakan cukai minuman berpemanis belum sepenuhnya diterapkan hingga saat ini. Penerapan cukai minuman berpemanis di Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dengan menurunkan konsumsi gula berlebih, yang dapat mengurangi risiko obesitas, diabetes, dan penyakit jantung.
Penerapan cukai ini juga dapat menjadi sumber pendapatan negara yang dapat dialokasikan untuk mendanai program-program kesehatan. Selain itu, kebijakan ini dapat mengurangi dampak lingkungan, mengingat banyak minuman berpemanis yang dikemas dalam plastik sekali pakai. Di sisi lain, adanya cukai ini bisa mendorong masyarakat beralih ke pilihan minuman yang lebih sehat, seperti air putih atau jus tanpa tambahan gula.
Namun, tantangan besar dalam penerapan cukai minuman berpemanis adalah penolakan dari industri terkait dan konsumen yang merasa terbebani dengan harga yang lebih tinggi. Selain itu, kebiasaan konsumsi minuman manis yang sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak, memerlukan waktu untuk mengubahnya. Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif juga menjadi kendala, terutama di daerah terpencil dan pasar tradisional.
Di samping itu, kebijakan ini berpotensi meningkatkan beban ekonomi pada masyarakat berpendapatan rendah, yang sering kali mengandalkan minuman manis sebagai bagian dari pola makan sehari-hari. Untuk itu, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada pendidikan masyarakat dan kesiapan infrastruktur pengawasan.
Penulis: Azra Zafirah Allysya, Mahasiswi Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia