Dinamika struktur sosial masyrakat sebagai akibat interaksi yang terjadi secara kontinu membawa konsekuensi perkembangan hukum yang berkembang di masyarakat.
Hukum secara kenegaraan berarti hukum dalam arti peraturan perundang-undangan, perspektif ini kental dengan nuansa legal positivistic.
Hukum yang seperti ini diapat diartikan juga dengan sebutan hukum dalam arti formil.
Selain itu juga berkembang aturan hukum yang berkembang dalam masyrakat atau hukum dalam arti materil. Keberadaan hukum formil dan hukum yang hidup dalam masyarakat menandakan terjadinya pluralism hukum di Indonesia.
Dewasa ini pembaharuan hukum di Indonesia mulai diarahkan untuk mengakomodasikan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pembaharuan hukum pidana Indonesia dirasa perlu untuk memasukkan hukum asli indonesia dalam materi muatan praturan hukum pidana Indonesia.
Memasukkan hukum asli yang hidup dalam masyarakat, berhubungan dengan suatu perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana.
Menurut Rancangan KUHP syarat perbuatan dianggap sebagai tindak pidana (strafrecht) selain bertentangan dengan peraturan perundang-undangan juga harus bertentangan dengan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat.
Perlu diketahui bahwa hukum asli Indonesia yang hidup dalam masyarakat berupa hukum adat, hukum agama, dan hukum yang berkembang dalam konfigurasi masyarakat Indonesia.
Pembaharuan hukum pidana Indonesia yang diarahkan kepada mengakomodasi hukum yang hidup dalam masyarakat kedalam materi muatan peraturan hukum pidana merupakan bentuk dari politik kriminal melalui upaya kriminalisasi perbuatan.
Upaya yang demikian merupakan usaha menekan kejahatan yang terjadi di masyarakat, sekaligus linier dengan upaya menciptakan kesejahteraan karena kondusifitas dalam kehidupan sosial masyarakat menjadi salah satu penunjang terciptanya kesejahteraan masyarakat. Kemajemukan hukum merupakan suatu keuntungan namun juga menjadi
permaslahan karena kemajemukan hukum apabila tidak diakomodir didalam peraturan perundang-undangan dapat menjadi pemicu tidak efektivnya hukum, karena hukum tersebut tidak sejalan dengan kultural masyarakat atau dapat diartikan masyarakat tidak menginginkan hukum yang tidak sesuai dengan masyarakat.
Mengakomodasi hukum yang hidup didalam masyarakat pada prinsipnya merupakan langkah yang dinilai bagus mengingat sejarah bangsa Indonesia yang pernah dijajah oleh belanda yang menyebabkan sistem hukum Indonesia (pada waktu dijajah disebut hindia belanda) mengikuti sistem hukum negeri belanda dan lebih miris lagi ketika pasca kemerdekaan hukum yang berlaku khususnya hukum pidana tetap hukum negeri belanda menggunakan asas korkondansi.
Pengakomodasian hukum yang hidup dimasyarakat memiliki persoalan apakah yang diakomodir adalah nilai-nilai dalam artian perbuatannya saja yang dianggap bertentangan dengan masyarakat atau keseluruhan termasuk kepada tindakan-tindakan adat yang berlaku terhadap perbuatan yang dilangarnya, karena apabila tidak menyertakan tindakan adat akan menhilangkan esensi dari hukum adat yang bertujuan pemulihan yang merupakan corak ketimuran yang mempunyai falsafah otenstik, tidak sama dengan bangsa lain khususnya bangsa barat.
Menyikapi kondisi hukum Indonesia yang masih berkultur barat akibat berlakunya asas korkondansi negara belanda kepada bangsa jajahannya, diperlukan pembaharuan hukum dalam kaitannya dengan hukum yang asli Indonesia.
Pembaharuan hukum, khususnya hukum pidana dirasa memiliki tingkat urgensi yang tinggi karena menyangkut tiga hal pertama, alasan politik yaitu suatu negara erdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional, demi kebanggan nasional. Kedua, alasan sosiologis merupakan alasan yang menghendaki hukum mencerminkan kebudayaan dari suatu bangsa.
Ketiga, alasan praktis menginginkan hukum yang berlaku di suatu negara merupakan hukum dengan bahasa asli negara tersebut, bukan terjemahan dari hukum itu berasal. pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya rasional mengefektifkan penegakan hukum melalui memerbaiki legal substance, upaya rasional menanggulangi kejahatan (perbuatan jahat baik oleh undang-undang maupun oleh masyarakat), upaya rasional mengatasi permasalahan-permasalahan sosial yang dapat diselesaikan melalui hukum.
Pembaharuan hukum pidana menurut penulis dapat diartikan sebagai politik hukum dalam arti post factum atau politik hukum dilaksanakan ketika telah terjadi situasi-situasi kongkrit dalam masyarakat. Lebih lanjut Sunaryati Hartono mengatakan bahwa politik hukum tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang terdapat disuatu negara.
Pembaharuan hukum pidana harus ditunjukkan kepada :
Perlindungan masyarakat dari perbuatan/tindakan asocial yang merugikan dan membahayakan perbaikan pelaku perbuatan/tindakan asocial sebagai bentuk perlindungan masyarakat dari sifat membahayakan penegakan hukum yang menyelesaikan konflik dengan cara memulihkan keseimbangan yang hilang akibat tindak pidana pembaharuan hukum pidana tersebut berkaitan dengan kriminalisasi yang mana berkaitan dengan perbuatan yang melawan hukum.
Suatu perbuatan melawan hukum dalam ranah hukum pidana harusnya sudah final yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hukum tertulis sebagai konsekuensi berlakunya prinsip lex certa hal ini dapat diartikan sebagai sifat melawan hukum formil.
Namun dalam doktrin dikenal melawan hukum materil yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan atau nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.
Melawan hukum formil dan materil terkadang bertentangan akibat dari tidak komperhensifnya undang-undang. Sebagai contoh overspel pasangan muda-mudi yang tidak dalam ikatan perkawinan dianggap bukan perbuatan melawan hukum secara formil, namun secara melawan hukum materil adalah perbuatan yang tidak patut karena masyarakat mengutuknya.
Arah pembaharuan hukum pidana Indonesia berada pada posisi bagaimana mengakomodir hukum yang hidup dalam masyarakat kedalam hukum positif dalam bingkai tujuan nasional yang berkiblat kepada pancasila sekaligus alternatif yang bisa digunakan untuk menyikapi pluralism (kemajemukan) hukum di Indonesia agar dapat menghindari pertentangan antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya.
Mengakomodir hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan upaya peninjauan kembali sejumlah larangan-larangan yang sifatnya amoral akan tetapi tidak diatur dalam hukum positif. Kebijakan meningkatkan perbuatan amoral sebagaia perbuatan pidana.
Pembaharuan hukum pidana Indonesia saat ini diarahkan kepada re-orientasi pokok-pokok pikiran, ide-ide dasar, atau nilai sosio- filosofis, sosio-kultural dan sosio-politik hukum pidana Indonesia sesuai dengan tujuan nasional yang bersemayam dalam ideologi bangsa. Memperhatikan arah pembaharuan hukum pidana Indonesia yaitu bagaimana menyelaraskan dengan tujuan nasional melalui mengakomodir hukum yang hidup didalam masyarakat kedalam hukum positif.
Pembaharuan hukum pidana, khususnya hukum pidana materil berhubungan langsung dengan kriminalisasi perbuatan. kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas namanya.
Tindakan kriminalisasi oleh negara merupakan ranah pembentuk undang-undang (legislation) yang memiliki batasan bertujuan melindungi masyarakat (warga negara) sebagai subjek yang diaturnya agar tidak terkekang kebebasannya. Kriminalisasi memiliki hubungan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Perubahan sosial tidak hanya berarti perubahan struktur dan fungsi masyarakat, tetapi di dalamnya terkandung juga perubahan nilai, sikap dan pola tingkah laku masyarakat.
Apabila diperhatikan kriminalisasi erat kaitannya dengan kondisi struktur sosial, artinya struktur sosial mempengaruhi suatu perbuatan dikategorikan layak sebagai tindak pidana manakala perbuatan tersebut melawan hukum dalam arti materil (mala in perse).
Pandangan living law terhadap hukum memperlihatkan sisi lain hukum yang bukan hanya sekear hukum dalam arti formal (formal legalistik). Hukum lahir dalam ranah pengalaman sehari-hari, terbentuk lewat kebiasaan yang akhirnya menjadi tatanan yang efektif dalam masyarakat.
Tatanan yang melarang suatu perbuatan biasanya dianggap bertentangan dengan kepatutan dalam kehidupan social. Hukum tidak jatuh dari langit melainkan berproses dalam dinamika masyarakat dan menciptakan keajegan-keajegan tertentu.
Rancangan KUHP sebagai iuscontituendum memiliki arah yang futristik dimana jenis sanksi lebih bervariasi dibandingkan KUHP saat ini yang merupakan warisan belanda dengan corak budaya yang berbeda. KUHP saat ini dengan corak baratnya berorientasi kepada keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Sedangkan Indonesia sebagai negara timur berorientasi kepada kedamaian sebagai tujuan hukum. Falsafah (tujuan) bangsa Indonesia merupakan falsafah yang digali dari budaya dan kehidupan bangsa Indonesia yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Menurut Soediman Kartohadiprojo falsafah bangsa Indonesia bukan individu yang bebas namun individu yang terikat dalam arti kekeluargaan.
Perubahan dalam RUU KUHP berupa bertambahnya pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Rumusan demikian menujukkan tujuan hukum yang berorientasi ketimuran berupa kedamaian.
Hal ini didasarkan kepada kenyataan dalam masyarakat adat bahwa pelanggaran (tindak pidana) dipandang sebagai gangguan terhadap keseimbangan (evenwichtstoring), keselarasan, dan keserasian, dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan kerusakan individual maupun masyarakat.
Pemidanaan merupakan reaksi masyarakat yang bertujuan untuk memulihkan kembali rusaknya keseimbangan, keserasian, dan keselearasan sebagai akibat dari suatu pelangaran (tindak pidana).
Rusaknya keseimbangan, keserasian, dan keselearasan sebagai suatu kekacauan (tidak damai) dibalas dengan melaksanakan ketentuan adat bertujuan mengembalikan rusaknya keseimbangan, keserasian, dan keselearasan agar menjadi damai kembali merupakan tujuan hukum berorientasi ketimuran.
Perkembangan RUU KUHP yang mulai mengarah kepada tujuan hukum yang bercorak ketimuran dipandang telah mengakomodasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta upaya mengelaborasikan sistem hukum yang ada di Indonesia yaitu bagaimana mempertemukan antara hukum modern melalui legal formalistiknya dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyrakat sebagai sumber nilainya.
Namun alangkah lebih komperhensifnya apabila ketentuan pembayaran adat ditempatkan sebagai pidana pokok bukan sebagai pidana tambahan, sehingga menjadi yang utama (primer) namun kepada tindak pidana yang dikristaliasasi dari ketentuan adat atau tindak pidana adat yang kemudian diatur dalam hukum positif yang secara otomatis dikuti dengan sistem sanksi agar tidak menghilangkan ciri hukum adat sekaligus pengejawantahan corak ketimuran yaitu hadirnya kedamaian.
Masa depan pembaharuan hukum Indonesia saat ini diarahkan kepada upaya re-orientasi substansi aturan-aturan hukum pidana yang dianggap tidak lagi relevan dengan kehidupan masyaraat Indonesia karena banyak perbuatan jahat dalam optik masyarakat tidak termasuk sebagai perbuatan jahat dan dilarang dalam optik hukum positif.
Semua terjadi karena hukum pidana Indonesia secara umum merupakan warisan dari belanda yang secara kultur masyrakat berbeda dengan kultur masyarakat Indonesia yang bercorak ketimuran.
Apabila menempatkan hukum sebagai cerminan masyarakat, dengan demikian hukum pidana Indonesia saat ini tidak mencerminkan hal itu, maka pembaharuan hukum pidana Indonesia saat ini mengarah kepada re-orientasi substansi hukum pidana Indonesia sesuai dengan kehendak masyarakat.
Memperbaharui hukum pidana Indonesia yang sesuai dengan kehendak masyarakat yang tercermin dalam hukum yang hidup dalam masyarakat bukan perkara yang mudah. Ketentuan-ketentuan adat atau kewajiban adat yang harus dilaksanakan apabila terjadi pelanggaran menurut optik hukum pidana adat sebagai upaya pengembalian keseimbangan, menimbulkan permasalahan manakala upaya mengakomodir hukum adat kedalam aturan hukum positif tidak disertai dengan pelaksanaan ketentuan/kewajiban adat karena akan menghilangkan eksistensi dari hukum adat sebagai upaya pemulihan karena pelanggaran.
Ketentuan dalam RUU KUHP yang menempatkan pelaksanaan/pembayaran ketentuan adat sebagai pidana tambahan akan dirasa lebih tepat apabila dijadikan sebagai pidana pokok, namun disebutkan secara langsung kepada tindak pidana tertentu yang berasal dari ketentuan adat.