Penulis: Khadijah Daulay (Ketua Umum PK IMM Soshum USU)
Krisis integritas kepemimpinan di tingkat nasional kini menemukan miniatur yang mengkhawatirkan di lingkungan kampus. Permasalahan ini bukan sekadar cacat moral individual, melainkan alarm keras atas pergeseran sosial yang mendalam, menjebak generasi muda dalam budaya pragmatis dan materialistis.
Di tengah sulitnya ekonomi, tolok ukur sukses mahasiswa bergeser. Keberhasilan tak lagi diukur dari kedalaman berpikir kritis atau kontribusi sosial, melainkan dari seberapa cepat keuntungan pribadi bisa diraih. Benteng terakhir intelektualisme, idealisme, dan nilai kemanusiaan di perguruan tinggi, perlahan-lahan runtuh.
Idealisme Terkikis Realitas Ekonomi
Kesulitan ekonomi menjadi akar subur mentalitas pragmatis ini. Tuntutan biaya hidup, kuliah, dan kebutuhan dasar di kota besar membuat energi mahasiswa tersedot habis. Waktu berproses di organisasi kemahasiswaan tersisih oleh keharusan bekerja sambilan.
Organisasi kini bukan lagi ruang pengabdian, melainkan tempat membangun jaringan demi kepentingan karier. Perhitungan rasional dan manfaat jangka pendek menggeser nilai luhur. Inilah titik mula krisis kepemimpinan, lahir dari ketidakseimbangan antara kebutuhan materi dan tanggung jawab moral.
Politik Uang dan Perebutan Jabatan di Organisasi Kampus
Akibatnya, nilai-nilai luhur seperti kejujuran, solidaritas, dan tanggung jawab sosial memudar. Organisasi mahasiswa yang dulunya pusat karakter, kini berubah jadi arena perebutan kekuasaan kecil-kecilan.
Fenomena politik uang, manipulasi suara, hingga perebutan akses demi keuntungan pribadi bukan lagi aib di lingkungan kampus. Praktik-praktik ini secara tragis mereplikasi kebobrokan moral politik nasional. Mahasiswa, yang seharusnya menjadi agen perubahan, justru menjadi reproduktor sistem yang mereka kritik.
Wafatnya Nalar Kritis dan Intelektualitas
Krisis ini berdampak serius pada intelektualitas. Tradisi berpikir kritis tergantikan oleh budaya sukses karier instan. Mahasiswa tidak lagi mengukur keberhasilan dari analisis mendalam atau kontribusi ilmiah.
Aktivitas akademik seperti riset dan kajian sosial dianggap membosankan. Sebaliknya, kegiatan yang menawarkan eksposur media, popularitas cepat, dan relasi politik lebih diminati. Inilah wujud nyata krisis intelektual: ilmu pengetahuan hanya menjadi alat mencapai status sosial, bukan jalan menuju kebijaksanaan.
Religiusitas Simbolis, Moralitas Terkikis
Nilai religiusitas pun tak luput dari erosi. Ritual keagamaan dijalankan, tetapi kedalaman spiritual dan kesadaran moral memudar. Religiusitas hanya dipahami sebagai simbol identitas, bukan fondasi etika dalam bertindak.
Integritas pemimpin menjadi rapuh, mudah tergoyahkan kepentingan. Di organisasi, tampak dari pemimpin yang fasih berbicara moral, namun diam-diam terlibat praktik tidak etis demi mempertahankan kekuasaan. Kebenaran telah menjadi slogan, bukan lagi komitmen hidup.
Jalan Kembali: Revitalisasi Nilai dan Humanitas
Di balik krisis, harapan perbaikan masih ada. Mahasiswa harus merevitalisasi kembali idealisme kampus. Pendidikan harus kembali pada tujuan sejati: membentuk manusia berkarakter, bukan sekadar mencetak tenaga kerja.
Kampus harus menjadi laboratorium moral, tempat lahirnya pemimpin yang berani berkata benar. Diperlukan keteladanan nyata dari dosen, alumni, dan tokoh, yang menunjukkan kepemimpinan sejati adalah tentang tanggung jawab dan kejujuran, bukan jabatan.
Panggilan untuk Bertanggung Jawab
Kita perlu menanamkan kembali makna religiusitas dan humanitas sejati: kesadaran untuk berlaku adil, jujur, dan peduli. Integritas tidak bisa dibentuk lewat aturan, melainkan kesadaran batin bahwa hidup harus dijalani dengan tanggung jawab.
Krisis integritas ini adalah tantangan bagi seluruh elemen bangsa. Jika mahasiswa gagal menjaga nilai kebenaran, masa depan bangsa menjadi rapuh. Namun, jika mereka berani menolak pragmatisme dan menegakkan kembali idealisme, masih ada cahaya harapan. Integritas adalah cermin masa depan bangsa.



