Neracanews | Medan – Terkait sidang yang dipimpin Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan, Sulhanuddin di ruang Cakra 2, PN Medan, mengenai dugaan korupsi PT.Perkebunan Sumatera Utara ( PSU) di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) dengan terdakwa Darwin Sembiring, Kamis (30/6), Ahli hukum pidana dari Universitas Unika Medan, Prof Dr Maidin Gultom SH M.Hum menyebut kasus error inpersona dan kriminalisasi.
Hal tersebut setelah menjawab pertanyaan tim kuasa hukum yang dimotori DR. OK Isnainul SH,.MH, M. Sa’i Rangkuti SH.,MH, Datuk Zulfikar SH, Rizky Fatimantara Pulungan SH dan Mauliza, SH, tentang keterangan Prof Dr Maidin Gultom SH M.Hum, Jika seluruh SOP telah dilaksanakan sesuai dengan Job discriptionnya yang melekat pada masing masing jabatannya, ketika itu sudah dilakukan dengan benar.
Langsung Prof Dr Maidin Gultom SH M.Hum menjawab dalam sidang tersebut, bahwa hal itu tidak bisa karena error inpersona dan jika dipaksakan akan adanya kriminalisasi
” Oh itu gak bisa itu namanya error inpersona dan kalau dipaksakan itu namanya kriminalisasi”, tegas Maidin Gultom dihadapan majelis hakim.
Prof Dr Maidin Gultom juga menegaskan sebuah tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada seseorang sifatnya harus Pasti, Nyata dan Terukur.
“Tidak dikenal istilah berpotensi merugikan keuangan negara dalam kasus pidana korupsi”,ungkap Prof Dr Maidin Gultom.
Selanjutnya terkait pertanyaan JPU, tentang dikategorikan berpotensi melawan hukum, bila dalam kasus PT. PSU yang menyebutkan ada ganti rugi dan penerimanya juga jelas, Prof Dr Maidin Gultom secara tegas mengatakan bahwa dalam kasus tersebut tidak ada pidana dan tidak bisa disebutkan berpotensi melawan hukum.
Lanjut Maidin Gultom menyebutkan dalam pertanggungjawab perbuatan tindak pidana korupsi harus dibedakan antara perbuatan pidana, administrasi maupun perdata.
“Jadi intinya siapa yang berbuat dialah yang harus bertanggungjawab dan pertanggungjawaban tidak bisa hanya ditujukan soal pidana saja, bisa administrasi, bisa juga perdata”,ungkapnya.
Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Ahli Administrasi jebolan UISU, Dr Dani Sintara, SH.,M.Hum yang memberikan keterangan berbarengan mengatakan, sesuai Undang-Undang Administrasi Negara sebuah pendelegasian atas satu kebijakan, bila ditemukan adanya perbuatan melawan hukum maka pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah penerima delegasi.
” Jadi soal pendelegasian antara atasan ke bawahan sudah secara jelas diatur dalam Undang – Undang siapa yang menerima delegasi, dia yang bertanggungjawab, ini mutlak”, jelas Dani Sintara, yang juga Alumni USU S2 dan S3 nya.
Sedangkan terkait izin lokasi, baik di lahan Kebon Simpang Koje maupun Kampung Baru pada tahun 2006, seluas 6000 hektar, bila tidak dilaksanakan maka si penerima izin harus diberikan sanksi oleh pemberi izin yaitu Bupati selaku yang memberi Izin.
Sementara soal penentuan kerugian negara, menurut Maidin Gultom siapapun berhak melakukan audit terhadap satu dugaan Tindak Pidana Korupsi, namun yang berhak menentukan adanya kerugian negara adalah lembaga resmi pemerintah yakni Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK).
“Siapa saja boleh melakukan audit, baik dari politeknik atau siapa saja namun yang berhak menentukan adanya kerugian negara dalam kasus ini adalah BPK, Auditor tidak bisa berdiri sendiri” tegas Maidin sembari kembali menegaskan bahwa pihak yang berhak mendeclare telah terjadi kerugian negara adalah BPK, Kalau ada BPK kenapa pakai yang lain.
Kemudian Kuasa Hukum Terdakwa Darwin Sembiring, M. Sa’i Rangkuti, SH,.MH, ketika mempertanyakan keterangan Saksi yang mana dipakai yang merupakan alat bukti yang sah, kembali Prof Dr Maidin Gultom mengatakan yang bisa dipakai sebagai Alat Bukti adalah keterangan Saksi yang telah terungkap di depan Persidangan dan Bukan di BAP.,
“baik ketika Jaksa Penuntut Umum mempertanyakan kepada Saksi, apakah BAP Saudara saksi masih sama didalam BAP, sementara keterangan Isi didalam BAP tidak pernah terungkap secara jelas dan detail didalam Persidangan, berdasarkan keahlian saya, maka keterangan Saksi yang dapat di pakai adalah Keterangan Saksi yang terungkap dan diucapkan di depan Persidangan,”tegas Prof Dr Maidin Gultom dipersidangan.
Sebelumnya dua saksi meringankan, yakni Marsudi (juru tanam dan identifikasi) dan Roni dari PT. PSU juga didengar keterangannya menyebutkan, bahwa mereka hanya bertugas melakukan penghitungan terhadap tanaman di lahan, baik di Simpang Koje maupun Bandar Baru.
“Kami menghitung tanaman diatas lahan yang diganti rugi. Ada Karet, Pinang, Sawo, Jengkol “,ucap Marsudi dan Roni.
Marsudi dan Roni juga menjelaskan bahwa mereka melihat langsung adanya pembayaran ganti rugi kepada masyarakat, yang dihadiri oleh Camat, Kepala Desa, Pejabat PT PSU dari Medan serta warga penerima ganti rugi.
“Kami lihat masyarakat secara bergantian mengambil uang di bagian kasir”,kata Marsudi.
Sedangkan terkait pertanyaan Hakim kepada Marsudi dan Roni, yang menjadi dasar acuan keduanya untuk melakukan penanaman
Langsung Marsudi dan Roni menjawab kalau mereka hanyalah juru tanam.
“sedangkan mengenai ukuran dan batasan lahan sudah ada tupoksi masing – masing dari kepanitiaan,”terang keduanya.(021)