Jejak Inspiratif Sekretaris AMPG Sumut
Siapa berani menanggalkan kenyamanan status PNS di Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup demi meraih “sesuatu yang belum jelas”? Dialah Putra si anak hutan (Young Forester).
DARMA Putra Rangkuti, S.hut,, M.si. Itu nama plus titel lengkapnya. Meski lama berstatus warga Medan, laki-laki gagah 37 tahun ini sejatinya bukan asli anak kota.
“Saya orang kampung,” aku Putra, panggilan akrabnya, membuka obrolan dengan wartawan …. yang menemuinya di kediamannya, Jalan Komplek Rispa III, Medan Johor, Rabu (16/3/2022) pekan lalu.
Pengakuan wong n’deso serasa kontras dengan penampilannya yang selalu keren. Tampak tak sebangun dengan hobinya mengendarai motor gede. Apalagi jika disanding dengan desain arsitek rumahnya yang full bergaya metropolis.
Tapi semodren apa pun hidup, budaya kota yang acap soliter diakuinya tak bisa menyurutkan cintanya terhadap desa.
Mandi sungai, nyangkul kebun, keluar masuk hutan, mencari kayu, mencari berondolan sawit dan ngangon lembu tetaplah menjadi kenangan indah masa lalunya. Tak ‘kan terlupakan. Begitu pula segala suasana desa yang menyemaikan budaya solider di tengah kehidupan warganya.
“Saya lahir dari budaya itu,” tambah Putra.
Memang, masa lalu tidak seluruhnya indah. Tetapi semua itu menjadi indah ketika tinggal kenangan. Dan desa, seterpuruk apa pun kondisinya, tetaplah surga bagi yang terlahir dan besar di sana.
Sosok dikenal santun ini pun mengamini ungkapan itu. Tak hanya mengamini, dia bahkan kian mewujudkan diri sebagai sosok anak desa sukses di “negeri seberang” yang cinta kampung halaman.
Putra lahir di Pematangsiantar dan besar di Bandar Huluan. Persisnya di Nagori Naga Jaya I, Nagori Naga Jaya I merupakan satu di antara 10 distrik di kecamatan Bandar Huluan, kabupaten Simalungun.
Nah, Bandar Huluan, daerah seluas hampir tiga kali wilayah Kota Tebing Tinggi, dengan alam dikenal elok dan memiliki objek wisata yang bernama Pemandian Air Sejuk/Swembat, dan punya beragam potensi komoditas pertanian, tiga tahun terakhir menjadi jejak bukti kiprah Putra membangun kampung halaman.
“Marsipature hutanabe,” tuturnya, melansir ungkapan lawas tentang
konsep perantau membangun kampung halaman. Lalu siapa sebenarnya pemuda kampung ini?
Dalam peta politik di Sumatera Utara (Sumut), sosok Darma Putra Rangkuti ibarat mutiara terpendam. Ia dikenal sebagai tokoh muda yang santun, religius sekaligus enerjik.
Karena itulah, September 2020, “mutiara itu diangkat dari dasar laut”.
Saat itu, seiring gelombang komitmen Ketua DPD Partai Golkar Sumut, H. Musa Rajekshah (Ijeck) menjadikan partai berlambang beringin sebagai partai terbesar di propinsi ini, ayah 2 anak ini pun mendapat amanah guna meraih target politik itu.
Itulah momen Putra didapuk sebagai Sekretaris AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar) Sumut. Ini salah satu sayap penting dalam organisasi Partai Golkar.
Sebelum itu, kiprah putra terkasih pasangan Amiruddin Sutrisno Rangkuti dan Samaiyah binti Sulaiman (almh) ini juga telah dikenal familiar di sejumlah organisasi kemasyarakatan.
Pada 2010, Putra didapuk menjadi Plt. Ketua KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) Pematang Siantar.
Koordinator Karang Taruna Provinsi Sumatera Utara Daerah Pematang Siantar – Simalungun dan Majelis Pimpinan Wliayah BKPRMI Sumut adalah jabatan yang kini diembannya.
Publik juga mengenalnya sebagai pengusaha agribisnis yang sukses. Tapi dari semua jejak kiprah itu, belum banyak yang tahu ternyata sosok pengusaha besar ini dulu adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang tugasnya acap keluar masuk hutan. Di sinilah blusukan Anda mengenal tokoh inspiratif ini dimulai.
“Harimau” yang Cool
Jum’at, 01 Juli 1984.I
tulah hari terbahagia bagi Amiruddin Sutrisno Rangkuti (62). Juga istri tercintanya, Samaiyah (almh).
Hari itu, putra pasangan ini lahir dengan sehat. Dan, sesuai pesan syekh, guru agama Amiruddin, bayi laki-laki berkulit putih itu diberi nama : Darma Putra.
“Ya, nama saya memang pemberian seorang syekh. Dialah Syekh KH Sanuri dari tarekat Naqsabandiyah. Waktu kecil, saya sering ikut bapak asal menemui Syekh Kyai Haji Sanuri,” kenang Putra.
Sesuai arti nama, putra asli Bandar Huluan ini diharap tumbuh menjadi pangeran penebar kebenaran. Kemuliaan nama itu menjadi kian hebat disanding arti dari Rangkuti.
Bukankah mitologi marga itu berasal dari Sang Moyang, Datu Janggut Marpayung Aji, si orang nan ditakuti, yang lama kelamaan julukan untuk tokoh sakti itu diakronimkan menjadi Rangkuti. Orang yang ditakuti. Saking ditakuti, mitos Rangkuti identik dengan sosok harimau.
Mendengar cukilan uraian baheula itu, Putra tampak tersenyum kecil. “Asal nggak digara-garai, kita sih (orangnya) cool, calm. and confident,” akunya. Keren, tenang, dan percaya diri.
Tiga karakter itu lama menjadi moto kepribadiannya. Dia menjelaskan itu sambil duduk santai dekat lukisan besar harimau yang nempel di dinding gazebo asri samping rumahnya.
Obrolan kembali melayang ke masa lalu. Masa Putra masih dalam gemblengan orang tuanya. Dan, seperti jamaknya anak desa, Putra juga menghabiskan masa kecil hingga remaja di kampungnya, Nagori Naga Jaya I, Bandar Huluan. Di sanalah dia menamatkan SD dan SMP.
“(Habis) tamat dari SD Inpres 0916666 saya masuk SMP Prama Artha,” jelasnya.
Berjuang Masuk
Sekolah Gratis
Di rentang masa kanak hingga remaja, Putra sudah dikenal sebagai sosok yang sholeh. Didikan ajaran Islam dari orang tua tampak kuekueh terpatri dan dijalankannya.
Saking sholeh dan sayang orang tua, Putra punya pandangan sedikit beda. Orang tua, terutama ibu, baginya bagaikan Tuhan “yang nampak”. Dari falsafah itulah, Putra mafhum, tak ada keberhasilan hidup bisa diraih anak tanpa restu dan doa orang tua.
Kisah Joko Widodo (Jokowi) yang sangat menyayangi ibunya, menjadi bukti anyar arti petuah keramat itu. Kisah anak menyayangi orang tua lama menjadi fakta di balik kesuksesan banyak tokoh besar lain.
“Mamak yang diam-diam rajin sedekah betul-betul menjadi inspirasi bagi saya. Juga bapak yang gigih (bekerja) adalah spirit bagi saya,” aku Putra, tentang dua kekuatan hebat orang tuanya.
Nilai-nilai budi pekerti semacam itulah yang terus ditanamkan orang tua Putra.
Dan, seiring waktu yang turut berperan menanamkan nilai-nilai luhur tersebut, nama warisan Sang Syekh akhirnya dinilai berhasil menyemaikan tuah dalam kepribadian Putra.
Jejak bukti cinta kuatnya pada orang tua
terjadi saat Putra baru tamat SMP. Di masa inilah takdir keberhasilan masa depannya mulai berproses.
“Sebagai satu-satunya anak lelaki (dalam keluarga), sejak kecil saya memang sudah tak ingin menyusahkan orang tua,” jelas Putra, membuka kisahnya setamat SMP.
Cerita bermula saat Putra mendapat info soal ada sekolah setingkat SMK yang menggratiskan semua biaya pada setiap muridnya. Tak hanya uang sekolah dan segala biaya tetek bengek digratiskan, pakaian seragam pun diberi cuma-cuma.
Info itu kontan menyurutkan niat Putra masuk ke sekolah yang diinginkannya. Dia langsung menelusuri kebenaran kabar itu.
Andai bisa menjadi murid di sekolah serba gratis itu, emak dan ayah tentu tak lagi pusing memikirkan biaya pendidikan anaknya. Demikian isi benak Putra kala itu
Nah, yang lebih merangsang hasratnya, setiap murid lulusan sekolah tak berbiaya itu dijamin diterima kerja di instansi pemerintah dan berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil). Wow…
Sekolah menggiurkan itu adalah SKMA Negeri Pekan Baru (Riau). SKMA akronim Sekolah Kehutanan Menengah Atas. Tak hanya bertujuan menyiapkan peserta didik dalam mendukung pembangunan kehutanan, sekolah bergengsi ini juga dikenal kuat menggembleng mental para muridnya, dengan pola semi militer.
Tapi jalan masuk ke sekolah itu tak lah seperti membalikkan telapak tangan.
Basic anak kampung dan tinggal dekat hutan bukan berarti membuat Darma Putra bisa langsung masuk SKMA. Nilai-nilai plus dari SKMA menyaratkan seleksi ketat untuk setiap calon murid yang ingin masuk ke sekolah “tak biasa” itu.
Ribuan anak dari berbagai daerah pun mengikuti test syarat masuk SKMA Negeri Pekan Baru. Seleksi yang ketat membuat hanya “segelintir” yang akhirnya dinyatakan lulus tes.
Dan, Putra, si anak berbakti, termasuk yang lolos seleksi. Di sinilah dia mulai meninggalkan kampung halaman. Demi meraih ilmu, hidup “bersakit-sakit” di perantauan mulai dijalaninya.
“Tak hanya mengajarkan ilmu kehutanan serta menempa mental ((para siswa), SKMA juga punya networking se-Indonesia,” jelas Darma Putra, soal nilai plus sekolah itu. Ribuan alumninya tersebar di setiap propinsi.
Begitulah. Niat baik selalu berakhir baik. Tiga tahun “bersakit” menuntut ilmu di Pekan Baru, Putra yang mulai mandiri berhasil tak lagi membebani ekonomi orang tuanya.
“(Tahun Ajaran) 1998-2001 saya tamat dari SKMA dan langsung jadi PNS di Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. ,” tutur Putra, kini Ketua Alumni SKMA Angkatan 2001/Angkatan 11 Wilayah Sumatera. “Gaji pertama saya saat itu Rp.1.250.000,” tambahnya.
Status PNS Digoyang
Hasrat Bangun Bisnis
Status PNS -setamat dari SKMA- bukan kemudian membuat laju hidup Putra menjadi santai. Hasrat meraih pendidikan setinggi langit terus membara di hatinya. Itulah yang kemudian membuat irama rutinitasnya menjadi bekerja sambil kuliah.
Kepalang basah berguru di SKMA, Putra pun nyebur guna lebih menyelami ilmu kehutanan. Menyisihkan gaji untuk biaya kuliah, dia pun.
Putra malah makin menggenjot “pedal gas”. Program S-1 Manajemen Kehutanan di Universitas Simalungun (USI) lalu ditempuhnya dan melanjutkan program studi S2 Bidang Agribsnis di Simalungun dan melanjutkan program S3 di Universitas Sumatera Utara dengan Jurusan Perencanaan Wilayah, jelasnya.
Tak nyana, kegigihannya menimba ilmu malah melahirkan motivasi menjadi pengusaha agribisnis. Putra ingin membuka usaha penangkar benih tanaman perkebunan, khususnya sawit. Tapi mana modal ?
Untuk menjajal bisnis itu minimal harus punya lahan yang luas. Pendapatan PNS “golongan biasa” tentu tak lah mampu mewujudkan mimpi itu. Putra pun putar otak. Itu terjadi tahun 2005. Hasilnya?
Di sinilah “kegilaan” itu dimulai. Tak ada cara lain, modal usaha pembibitan sawit akhirnya didapat lewat aksinya menggadai SK PNS ke bank.
“Dari hasil menggadai SK itu saya dapat Rp60 juta. Itulah modal awal saya. Dengan duit itu, pelan-pelan, kecil-kecilan saya buka usaha penangkar benih sawir,” tuturnya.
Dan, man jadda wajada. Siapa yang sungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkannya. Keberhasilan memang tak mengkhianati kegigihan berusaha. Putra sudah membuktikan itu.
Tiga tahun kemudian, 2008, bisnisnya mulai bertumbuh.
“Awalnya, (omset) Rp160 juta per tahun. Alhamdulillah, makin tahun, peningkatan (omset) terus terjadi,” tukasnya
Bisnis yang mulai berkembang membuat Putra berekspansi. Lokasi-lokasi baru penangkar bibit sawit dia buka. Kini, usahanya telah menyebar.
“Di Binjai sudah ada, di Sampali (Percut Seituan) ada 2 (lokasi), Siantar juga 2, Deli Serdang ada 2 lokasi di Mandailing Natal dan Jambi juga ada,” jelasnya.
Di sini, omset bisnisnya tentu kian melonjak. “Ya, di situ mulailah setahun bisa dapat (omset) Rp.1 miliar, alhamdulillah,” akunya.
Selain finansial usaha yang kian membaik, jejak kiprah dari SKMA lalu menjadi PNS sekaligus botanis kemudian sukses main di agribisnis membuat koneksi pergaulan Putra menguat.
Kisah suksesnya membangun bisnis penangkar benih pertanian menjadi topik obrolan sekalangan orang. Prestasi itu pula yang kemudian membuatnya diangkat menjadi Ketua Penangkar Benih Pertanian Sumatera Utara periode 2010-2015.
Sejak itu, kegiatan berbau politik pun mulai dilirik Putra.
Tapi Putra sadar. Bisnis dan politik bukan lahir dari rahim yang sama. Baginya, politik itu hidup di ranah pengabdian. Bakti untuk rakyat, darma untuk negeri.
Tak ada kalkulasi untung rugi di situ.
Nah, perjuangan mulia itu tentu membutuhkan budget yang besar.
Karena itulah, pada 2017 atau setelah lebih 1 dasawarsa membuka usaha,, Putra semakin fokus mengembangkan bisnis. Di masa inilah enterpreneur lelaki ini tercipta. Dari agribisnis, dia menjajal sektor pertambangan.
“Ya itu tadi, (koneksi bisnis tercipta) berkat SKMA yang networking-nya se-Indonesia,” jelasnya lagi.
Di sektor terakhir, meski “pemain baru”, perusahaan yang dikendalikan Putra berhasil menjadi vendor PT Vale Tbk. Ini perusahaan raksasa yang mengantongi ijin eksplorasi tambang nikel. Perusahaan ini beroperasi di Sulawesi. Sulawesi memang dikenal sebagai “supermarket” nikel.
“Ya, main nikel di Makassar. Itu (menjadi vendor PT Vale) sejak 2018. Makanya hampir setiap bulan saya ke (Makassar) sana,” tuturnya.
Sampai titik pencapaian ini, bisnis Putra memang kian moncer. “Kini (omset per tahun) antara Rp.20 miliar sampai Rp.30 miliar. Dan total karyawan 600 orang,” aku Putra.
Tapi di masa ini pula, suami Wirna Febrina ini menorehkan sejarah penting dalam perjalanan hidupnya. Apa?
Kesibukannya mengendalikan bisnis hingga “beranak pinak” membuat ayah dari Raja Putra Rangkuti dan Gibran Putra Rangkuti ini akhirnya memutuskan non-aktif dari kedinasannya sebagai PNS. Berhenti.
“Terakhir, 2017 dengan mengambil cuti di luar tanggungan negara, hak PNS dicabut, saya berkantor di BKSDA (Badan Konservasi Sumber Daya Alam) Sumut kala itu. Kalau teman-teman seangkatan saya rata-rata eselon 4 dan eselon 3. Tapi sebenarnya, niat untuk berhenti sudah ada sejak tahun 2012. ”
“Niat itu muncul karena ya saya sudah yakin untuk full berbisnis, dan selain itu, saya ingin membangun kampung halaman. Kalau saya terus berstatus PNS, lalu membangun kampung halaman, apa kata orang? Dari mana tu duitnya? Kan jadi menimbulkan fitnah. Itulah salah satu pertimbangan saya.”
Kiprah ala Dermawan Mesir (Ir. Sholah Attiyah)..
Sejak “non-aktif” dari PNS, hari-hari Putra terasa lebih bebas. Aktifitas bisnis menjadi lebih plong. Begitu juga kegiatannya yang beraroma sosial. Bahkan bolak -balik ke kampung tercinta, Nagori Naga Jaya I, Bandar Huluan, Simalungun, pun kini bisa dilakukannya.
Begitulah. Terhitung tahun 2019, saat kian fokus “memantau kampung”, Putra pun semakin heran. Heran karena di tengah ketersediaan sumber daya alam dan manusia, produktifitas di sana terasa belum maksimal.
“Padahal daerahnya punya banyak potensi. Ada sektor pertanian, pariwisata, perkebunan, perdagangan, dan warga yang masih banyak punya etos keras,” jelas Putra.
Dia lalu sedikit bercerita soal potensi budidaya pertanian. “Itu ada
tanaman. Porang dan Talas Beneng. Itu berpotensi sekali kalau dibudidayakan oleh warga. Itu bernilai ekspor tinggi lho. Porang itu Rp.500 ribu per Kg. Talas Beneng, itu daunnya bisa untuk tembakau herbal. Nikotinnya rendah. Tar-nya juga rendah. Nilai jualnya tahu? Itu Rp. 12 ribu per Kg kering,” urai pengusaha agrobisnis ini.
Sementara, soal potensi terbesar dari sektor perkebunan di Sumut, menurut Putra masih lah kelapa sawit. “Kekuatan industrinya menjanjikan. Apalagi petani sawit kini sudah lebih diperhatikan, hubungan petani dan pemerintah nyambung meski infrastruktur masih terganggu.”
“Tapi begitu pun, (pertanian) kita masih kalah dengan dengan Thailand. Di sana, dengan jumlah ketersediaan lahan tak sebagus di sini, produktivitas (petaninya) bisa diunggulkan. Lihat jambu mereka, sangat berkualitas. Juga kelapanya. Kalah kita,” beber Putra.
Berlatar fakta miris itulah, di tahun yang baru berlalu, di kampung tercintanya, Putra mendirikan sekolah modern berbasiis karakter Islami. Tempat yang ditarget menghasilkan generasi Islam yang unggul itu bernama SMK IT Daarul Madinah.
Di bawah naungan Yayasan Pesantren Daarul Putra Madinah , sekolah itu terus membekali para santri dengan 3 ilmu. Agrbisnis, kehutanan, dan perkebunan.. Tiga bidang teknis itu memang terbukti sangat dikuasai Putra, sang pendiri sekolah.
“Tapi karakter Islam harus menjadi landasan kepribadian para santri,” tandas sang jagoan penangkar sawit.
Kisah pengusaha muda sukses ini mengingatkan aksi serupa “nan lebih menggelegar” dari negeri seberang. Itulah kisah Sholah Atthiyah. Ini pengusaha dermawan fenomenal yang membangun desa-desa di Mesir dan aksi mulianya sempat luput dari ekspos media. Insinyur pertanian itu membangun sekolah, membuka lahan-lahan pertanian, juga pabrik pengolahan hasil pertanian.
Seperti Darma Putra Rangkuti, aksi sosial Sholah Athiyah juga berlatar keprihatinannya melihat kemiskinan dan kebodohan berkuasa di kampung halamannya. Astaghfirullah… (021)
Ditulis Oleh :
Zulkifli Tanjung & Ahmad FM