Taput (Neracanews) – Guru Besar universitas IPB, Prof.Dr. Manuntun Parulian Hutagaol mengatakan kalau belum lama ini tengah heboh seruan terbuka agar pemerintah menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL). Apalagi, narasi Tutup TPL itu disampaikan pemimpin salah satu organisasi keagamaan,
Tidak sedikit pihak menganggap TPL sebagai perusak lingkungan sehingga menimbulkan banjir dan longsor di Toba, dan masyarakat juga katanya mengalami kerugian materi, non materi yang cukup besar, akan tetapi, seruan tutup TPL tidak didasarkan pada pemahaman yang logika serta berbasis data yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
“TPL merupakan perusahaan besar yang nilai investasinya mencapai triliunan rupiah. Investasi besar itu untuk mengolah kayu (sumber daya alam, SDA) menjadi produk komersil,” ujarnya pada media
Selain itu, kata dia, seruan tutup TPL tidak mencerminkan ketidakpahaman aturan hukum yang harus ditaati perusahaan serta mekanisme pengawasan dan penegakan secara hukum oleh pemerintah.
“Benar bahwa TPL sebagai perusahaan komersial mengejar keuntungan (profit). Tetapi, TPL sebagai perusahaan besar dan terbuka (Tbk) bukanlah entitas bisnis yang melakukan strategi maksimisasi
keuntungan jangka pendek,” ucapnya pada Rabu (4/6/2025)
Menurutnya, TPL butuh Waktu sekitar 25 tahun untuk mendapatkan Kembali investasinya ditambah sejumlah return (profit) yang diharapkan pemilik perusahaan, Artinya, satu “investment cycle” dari TPL membutuhkan kegiatan produksi yang berkelanjutan selama sekitar 25 tahun.
Implikasinya, TPL harus kerja keras menjamin pasokan bahan baku (kayu) yang cukup dan sesuai kebutuhan perusahaan selama periode panjang ini. Jadi mereka harus melakukan berbagai cara menanam dan memanen pohon-pohon yang akan menjadi bahan baku pabriknya secara berulang.
Selain itu, biasanya perusahaan besar seperti TPL berharap dapat melakukan bisnisnya tidak hanya satu siklus investasi. Tetapi berkelanjutan tanpa batas waktu, oleh karena itu, penanaman dan pemanenan pohon diharapkan dapat dilakukan secara berkelanjutan tanpa batas waktu dengan prasyarat bisnis.
Tidak sedikit pihak menganggap TPL sebagai perusak lingkungan sehingga menimbulkan banjir dan longsor di Toba. Dan, masyarakat mengalami kerugian materi, non materi yang cukup besar. Akan tetapi, seruan tutup TPL tidak didasarkan pada pemahaman yang logika serta berbasis data yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
“TPL merupakan perusahaan besar yang nilai investasinya mencapai triliunan rupiah. Investasi besar itu untuk mengolah kayu (sumber daya alam, SDA) menjadi produk komersil,” ujarnya kepada media.
Selain itu, kata dia, seruan tutup TPL tidak mencerminkan ketidakpahaman aturan hukum yang harus ditaati perusahaan serta mekanisme pengawasan dan penegakan secara hukum oleh pemerintah.
“Benar bahwa TPL sebagai perusahaan komersial mengejar keuntungan (profit). Tetapi, TPL sebagai perusahaan besar dan terbuka (Tbk) bukanlah entitas bisnis yang melakukan strategi maksimisasi keuntungan jangka pendek,” katanya.
Menurutnya, TPL butuh Waktu sekitar 25 tahun untuk mendapatkan Kembali investasinya ditambah sejumlah return (profit) yang diharapkan pemilik perusahaan.
Artinya, satu “investment cycle” dari TPL membutuhkan kegiatan produksi yang berkelanjutan selama sekitar 25 tahun.
Implikasinya, TPL harus kerja keras menjamin pasokan bahan baku (kayu) yang cukup dan sesuai kebutuhan perusahaan selama periode panjang ini.
Jadi mereka harus melakukan berbagai cara menanam dan memanen pohon-pohon yang akan menjadi bahan baku pabriknya secara berulang. Selain itu, biasanya perusahaan besar seperti TPL berharap dapat melakukan bisnisnya tidak hanya satu siklus investasi. Tetapi berkelanjutan tanpa batas waktu.
Oleh karena itu, penanaman dan pemanenan pohon diharapkan dapat dilakukan secara berkelanjutan tanpa batas waktu. Dengan prasyarat bisnis.
Seperti itu, apakah tuduhan TPL merusak lingkungan yang mengakibatkan banjir dan longsor sebagaimana isi seruan tersebut di atas dapat diterima akal sehat?
“Tuduhan tersebut absurd (mustahil). Alasannya adalah pohon-pohon yang ditanam untuk dijadikan bahan baku tidak dapat tumbuh dengan baik di tanah yang rusak secara ekologis dan akan hancur bila terjadi banjir dan tanah longsor, sebagai akibatnya, TPL akan rugi dan tidak akan dapat memungut kembali (recover) investasinya. Harapannya untuk melakukan bisnis berkelanjutan juga tidak mungkin terwujud,” ujarnya.
Ia menambahkan, bila lingkungan hidup di KDT hancur maka pasokan bahan baku TPL tidak terjamin sehingga perusahaan akan gulung tikar. Apakah pihak TPL akan melakukan perbuatan sebodoh itu?
“Selain karena tuntutan untuk memenuhi kepentingan perusahaan (self interest) sendiri, TPL juga harus memastikan operasinya tidak merusak lingkungan,” katanya.
Sebagai perusahaan PMA yang mendapat hak konsesi atas tanah negara, TPL harus mematuhi berbagai aturan negara yang mewajibkan nya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Maka dari itu, kepatuhan perusahaan dimonitor oleh negara baik secara langsung maupun tidak langsung melalui penyampaian laporan kegiatan secara berkala pada lembaga pemerintah terkait.
“Laporan berkala merupakan salah satu instrumen penting bagi pemerintah dalam mengawasi aktivitas TPL,” ujarnya.
Lebih lanjut ia bilang, audit terhadap kegiatan TPL merupakan instrument penting lainnya yang dipakai pemerintah dalam menjaga kepatuhan perusahaan. Laporan dan hasil audit tersebut dapat diakses secara online.
“Status perusahaan adalah perusahaan terbuka (Tbk). Artinya, pemilikannya bukan oleh seorang individu atau suatu keluarga, tetapi oleh banyak investor yang membeli sahamnya di bursa,” katanya.
Ia menuturkan, setiap investor bisa memonitor pergerakan (trend) Harga saham TPL secara “real team” di bursa. Pergerakan harga saham dibursa ditentukan oleh kinerja perusahaan.
Kinerja perusahaan yang baik akan mendorong harga sahamnya naik dan sebaliknya. Bila benar merusak lingkungan, dapat dipastikan harga sahamnya akan turun dan para pemegang saham akan rugi.
“Artinya, trend harga sahamnya mejadi instrument penting bagi para pemegang saham untuk mengendalikan perilaku manajemen TPL dalam mengelola bisnisnya,” ujarnya.
Tidak hanya itu, trend harga saham tersaji secara “real time”, dapat dikatakan bahwa manajemen TPL setiap saat harus menjaga operasi perusahaan agar tidak merusak lingkungan.
Berdasarkan diskusi singkat tersebut di atas dapat disimpulkan, tidaklah masuk akal bila perusahaan melakukan pengrusakan lingkungan sebagaimana tuduhkan dalam isi seruan tersebut.
Sebab bila TPL melakukan perbuatan perbuatan seperti itu, maka perbuatan tersebut justru akan merugikan perusahaan.
“Dampak Keberadaan TPL terhadap kesejahteraan masyakarat tuduhan seolah-olah TPL tidak memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat sudah dijawab oleh perusahaan dengan lugas yang mana dijelaskan bagaimana perusahaan mempekerjakan belasan ribu orang lokal baik secara langsung maupun tidak langsung,” katanya.
Selain itu, TPL sudah rutin memberikan dana CSR satu persen dari total nilai penjualan perusahaan pertahunnya. Lalu, memberikan bantuan langsung kepada korban bencana alam seperti banjir bandang dan tanah longsor.
Dalam seruan tutup TPL diklaim bahwa perusahaan telah “mengeruk” keuntungan triliunan rupiah dan tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan masyarakat.
“Klaim TPL meraup keuntungan itu sangat naif dan keliru. Peningkatan pendapatan masyarakat lokal serta pemberantasan kemiskinan di suatu wilayah bukanlah tanggung-jawab perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut, melainkan tugas pemerintah,” ujarnya.
Baginya, tidak ada aturan perundangan yang mewajibkan suatu perusahaan yang beroperasi di suatu wilayah untuk melakukannya. Menciptakan keadilan ekonomi juga bukan tugas perusahaan, tapi tanggung jawab pemerintah.
“Yang diharapkan pemerintah dari perusahaan adalah perusahaan mempekerjakan orang lokal, memberikan dana CSR dan menjaga kelestarian lingkungan. Namun, pemerintah tidak pernah menetapkan sejauh mana perusahaan harus berbuat,” katanya.
Apa Benar Menutup TPL Akan Membuat Alam KDT Semakin Lestari?
Kalau seandainya pemerintah menyetujui penutupan TPL sebagaimana diserukan, pertanyaan yang urgen untuk kita jawab adalah siapkah masyakat KDT menerima konsekuensinya?
Sebenarnya, timbulnya dampak negatif akibat penutupan sudah diantisipasi dalam seruan tersebut di atas. Namun, antisipasinya hanya sebatas masalah pengangguran yang mungkin timbul yang mana para pekerja langsung. Dan, tidak langsung akan kehilangan pekerjaannya. Populasi mereka ini sangat besar.
Diperkirakan ada sekitar 13.000 orang. Tidak jelas apa solusinya.
Dalam seruan tersebut hanya dihimbau agar pemerintah menyediakan lapangan kerja untuk mereka ini.
Himbauan ini sangat sulit dipenuhi oleh pemerintah mengingat saat ini kondisi perekonomian nasional dan keuangan negara “sedang tidak baik-baik saja”.
Sebagai konsekuensinya angka pengangguran dan kemiskinan akan semakin buruk di KDT. Kemiskinan adalah “musuh” lingkungan.
“Masalahnya adalah kaum miskin akan berusaha mempertahankan keberlanjutan hidupnya dengan segala cara, termasuk merambah hutan dan sumberdaya alam lainnya,” ujarnya.
Makanya, pendapatan kaum miskin perlu terus ditingkatkan melalui pembangunan berkelanjutan (Kuznet, 1970). Bila tidak ada penciptaan lapangan kerja baru untuk menggantikan lapangan kerja yang lama, maka seruan penutupan TPL justru akan “counter produktivitas” terhadap upaya pelestarian lingkungan.
Bila seandainya TPL ditutup, maka pertanyaan yang juga relevan adalah siapa atau lembaga mana yang “merawat dan menjaga” pepohonan dan sumberdaya alam lainnya yang ada di lahan yang tadinya dikelola TPL? Kegiatan ini bukanlah hal yang mudah.(HH)