SEJAK 2016 Indonesia tercatat sebagai negara dengan populasi pengguna VPN terbesar di dunia. Pada tahun 2019, Indonesia menjadi negara nomor satu salam pengunduhan VPN mengalahkan Cina dan India. Bisa jadi ini karena di Cina, layanan VPN banyak dibatasi pemerintah sehingga masyarakat Cina beralih ke shadowsocks. Berbeda dengan VPN yang sepenuhnya mengenkripsi jaringan, Shadowsocks hanya mengenkripsi Anda dan server proxy serta tidak menawarkan anonimitas online lain.
Sementara tidak berbeda jauh dengan Indonesia, penggunaan VPN di India meningkat semakin pesat bersamaan dengan banyaknya pembatasan konten internet. Fakta ini yang ingin dibahas dalam artikel ini, pada dasarnya apa itu VPN? Apa saja yang mendorong penggunaan VPN di Indonesia?
Dan bagaimana kita dapat memilih VPN yang aman untuk kegiatan berselancar sehari-hari? Apa itu VPN? VPN alias Virtual Private Network adalah layanan koneksi di internet yang dikembangkan untuk memberikan akses atau jalur komunikasi secara aman (secure) dan pribadi (private) dengan mengubah jalur koneksi melalui penambahan server di dalam jalur komunikasi dan melengkapinya dengan metode untuk menyembunyikan pertukaran data yang terjadi di dalam komunikasi tersebut. Kenapa banyak sekali masyarakat Indonesia menggunakan VPN? Sejumlah pihak menyebutkan bahwa alasan terbesar VPN digunakan di Indonesia adalah untuk melampaui pemblokiran sejumlah situs.
Bahkan penyedia jasa VPN juga tidak luput dari ancaman pemblokiran jika tidak memiliki izin sebagai Internet Service Provider (ISP). Ada banyak alasan di balik pemblokiran situs di Indonesia, selain izin yang tepat, ada pula faktor ‘keamanan negara’, bisnis pemerintah melalui BUMN dan moral. Berikut adalah contoh-contoh kasus pemblokiran situs dan jaringan internet di Indonesia.
1. Mengakses situs-situs hiburan VPN seringkali digunakan untuk mengakses situs-situs hiburan yang diblokir oleh pemerintah. Contoh yang dulu kita pernah dengar adalah Netflix. Telkom Group menerapkan pemblokiran terhadap Netflix per 27 Januari 2016. Pengguna Indihome, WiFi.id, dan Telkomsel secara otomatis tidak bisa mengakses layanan video streaming asal Amerika Serikat tersebut.
Setelah ramai protes netizen, Telkom melalui keterangan resminya menegaskan bahwa pemblokiran dilakukan lantaran layanan Netflix belum memenuhi regulasi yang ada di Indonesia. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara terakhir merestui dan mengapresiasi pemblokiran ini melalui serial twitnya.
Meski saat ini Netflix telah legal dan bisa diakses, pengalaman Netflix memaksa ribuan, jika tidak jutaan, warga Indonesia belajar memakai VPN secara otodidak.
2. Menerabas sensor situs dewasa Alasan penggunaan lain yang sepertinya cukup signifikan adalah banyaknya penggunaan VPN untuk mengakses situs dewasa. Belum ada data akurat mengenai hal ini. Namun, alasan ini sering muncul saat pemerintah memutuskan untuk melakukan pemblokiran.?
Blokir seringkali dilakukan sembarangan tanpa pertimbangan memadai. Misalnya, Tumblr sempat diblokir karena dituduh menyebarkan konten pornografi. Alasan serupa pernah digunakan juga untuk memblokir sejumlah situs yang dituduh “berkonten LGBT”. Pemblokiran dilakukan atas basis moral sekenanya tanpa landasan hukum yang jelas, apalagi adil.
3. Menerabas pemblokiran situs Jika tadi kita telah membahas alasan-alasan populer seputar penggunaan VPN, ada pula alasan lain yang cukup bersejarah. Kita mengenal pembatasan akses media sosial pernah terjadi di negeri ini. Pembatasan media sosial membuat warganet yang sudah terlanjur lekat dengan media sosial mencari jalan agar tetapi bisa menggunakan layanan tersebut. Misalnya, semenjak Reddit, Vimeo, dan sejumlah layanan lain diblokir, tak pelak memaksa warga mencari jalan lain salah satunya dengan menggunakan VPN.
4. Pembatasan penggunaan situs Selama Mei 2019 saat demonstrasi penolakan pasca-pengumuman hasil pemilihan presiden, masyarakat Indonesia mendapati sejumlah layanan media sosial tidak berfungsi. Kala itu, sejumlah aplikasi dan layanan hampir tidak bisa dijalankan atau setengah berfungsi khususnya untuk berkirim media baik gambar, suara maupun video.
Hal ini berlanjut di tengah meluasnya demonstrasi di Papua pada Agustus 2019, di mana layanan internet bahkan dipadamkan. Pentingnya dapat mengakses media sosial bagi warga bukan hanya sekadar tidak bisa membarui status. Media sosial telah berkelindan dengan bisnis dan aspek kegunaan lain, bahkan hingga digunakan para guru dalam proses pendidikan. Misalnya para guru yang menggunakan Facebook untuk mempermudah koordinasi dengan para muridnya.
Bagaimana memilih dan menggunakan VPN yang aman? Kita lihat di sini muncul semacam lingkaran setan: situs diblokir, masyarakat lari ke VPN dan karena masyarakat terus bisa mengakses sejumlah layanan, maka blokir menjadi semakin luas dan seterusnya.
Terdapat banyak kekhawatiran soal penggunaan VPN ini karena kebingungan memilih layanan VPN yang aman. Tak disangkal, banyak penyedia VPN yang menyadap serta membocorkan data pribadi pengguna. Rilis Telkom menyebutkan bahwa dari 283 layanan VPN 38 persen dari sampel VPN mengandung malware. Nama-nama VPN gratis mendominasi daftar tersebut, meskipun tidak berarti VPN berbayar adalah jaminan lebih aman daripada VPN gratis.
Konsekuensinya bisa bermacam-macam. Data yang tercuri dapat berimplikasi secara ekonomi, sosial dan politik. Contohnya penjebolan akun keuangan di dunia maya. Aplikasi VPN yang tidak aman dan membawa malware bahkan dapat membawa petaka lebih besar dari sekedar pencurian data pengguna. Lebih jauh lagi kerusakan sistem operasi dapat terjadi pada gawai pintar ataupun komputer sehingga biaya yang ditanggung pengguna akan semakin besar. Namun di sini kita tidak sedang menakut-nakuti pengguna VPN.
Pertanyaannya apakah di luar sana ada layanan VPN yang aman? Tentu saja, kata-kata keamanan bisa ditafsirkan luas namun penulis ingin mengajukan sedikitnya dua indikator yang memungkinkan membawa kita sampai pada VPN yang aman.
Ada banyak hal yang secara teknis dapat mengindikasikan baik dan amannya layanan VPN. Salah satunya adalah layanan VPN yang baik semestinya memungkinkan pengguna mengirim dan menerima data melalui internet dengan tetap menjaga privasi dan kerahasiaan data pribadinya, atau mengurangi pencatatan data pribadi.
Hal ini bisa dicapai layanan dengan menggunakan enkripsi yang memadai. Namun akan banyak hal teknis jika kita masuk ke pembahasan ini. Di ruang yang terbatas ini penulis akan mengajukan dua indikator sederhana yang bisa dijalankan pengguna awam.
Penulis merasa jika salah satu dari indikator ini dipenuhi suatu aplikasi maka ada kemungkinan layanan tersebut cukup bisa diandalkan. Pertama soal bagaimana aplikasi ini dibuat. Dalam hal ini penulis sangat mendukung penggunaan aplikasi dengan sumber kode terbuka alias open source. Karena dengan ini, kode dan perintah apapun yang akan dilaksanakan aplikasi yang bersangkutan bisa dianalisis publik.
Dan untuk ini pengguna awam cukup mencari keterangan di mesin pencari aplikasi VPN yang bersangkutan dibuat Kedua, adanya audit keamanan yang independen yang terpublikasi terhadap layanan VPN tersebut. Audit ini seringkali dipublikasikan di situs aplikasi VPN. Namun masalahnya seringkali hasil audit ini diungkapkan dalam bahasa yang tidak sederhana dan sangat teknis. Sejumlah kejernihan hanya akan terungkap bila Anda bisa membacanya. Ini tentu butuh pengetahuan dan waktu belajar.
Namun jangan resah, terdapat layanan yang dapat membantu anda. Rekomendasi pilihan VPN? Misalnya saat ini ada situs yang membandingkan layanan keamanan aplikasi chat yang dengan mudah bisa kita baca dan mengerti.
Silakan tengok ke sini https://www.securemessagingapps.com/. Pilihan pengguna VPN awam adalah membaca sejumlah review atau tinjauan dari para pakar yang membandingkan fitur-fitur keamanan yang disandang sejumlah layanan VPN.?
Beberapa ulasan dari VPN Mentor, panduan mengenai VPN dan daftar layanan dari ZDnet mungkin dapat membantu. Saya sendiri merekomendasikan layanan VPN ProtonVPN yang juga menyediakan paket gratis, dan bersumber terbuka (open source), memiliki enkripsi yang kuat serta adanya sejumlah tinjauan dan audit tim independen yang telah diumumkan secara publik.
TunnelBear juga merupakan salah satu layanan VPN yang saya rekomendasikan (dan tempat kerja saya, EngageMedia, berekanan untuk membagikan layanan gratis bagi pembela HAM dan hak digitial) karena telah diaudit secara independen dan menerapkan kebijakan no log yang cukup ketat. NordVPN tampaknya menjadi favorit layanan VPN berbayar, khususnya untuk yang ingin menerabas blokir streaming, tetapi pada 2019, NordVPN pernah mengalami kebocoran data yang cukup besar.
Ke depan, di tengah ramainya pembicaraan mengenai RUU PDP di parlemen di akhir 2020 lalu, merebak kontroversi kebijakan terbaru Whatsapp soal penyerahan data ke perusahaan induk Facebook, terlihat terbangunnya kesadaran masyarakat soal data dan keamanan pribadi.
Kita perlu pula melirik sebuah persoalan lain yang cukup besar, yaitu penggunaan VPN. Maka perlu sekiranya semua pihak bergandengan tangan membenahi kebocoran data warga negeri ini yang terus terjadi. Kita perlu menggunakan VPN yang aman dalam kegiatan berselancar sehari-hari.
Sumber Kompas.com