Neracanews | Medan – Pemerintah dan DPR berencana mengesahkan RKUHP dalam waktu dekat. YLBHI dan 18 LBH Kantor menilai bahwa RKUHP saat ini masih disusun berdasarkan paradigma hukum yang menindas serta diskriminatif. Apabila masih dipaksakan, paradigma hukum yang demikian akan memunculkan satu masalah besar, yakni ancaman over-kriminalisasi kepada rakyat. Simpulan tersebut tercermin dari muatan-muatan pasal anti demokrasi yang masih dipaksakan.
Persoalan serius yang menjadi sorotan utama adalah RKUHP dapat menjadi instrumen yang mengancam demokrasi dan kebebasan sipil. Pasal mengenai ancaman pidana terhadap penghinaan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218 sampai Pasal 220), pasal penghinaan terhadap pemerintahan yang sah, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 349 sampai Pasal 351), pasal mengenai pencemaran nama baik, hingga pasal ancaman pidana kepada penyelenggaraan aksi demonstrasi yang tidak didahului dengan pemberitahuan (Pasal 256), menjadi contoh konkret ancaman yang dapat digunakan untuk menghantam suara-suara kritis rakyat terhadap penyelenggaraan Negara yang ditujukan kepada penguasa. Bahkan, pasal-pasal tersebut berpotensi digunakan secara serampangan, mengingat rendahnya etika pejabat negara saat ini. Terutama, karena lebih sering memprioritaskan kepentingan oligarki, ketimbang kepentingan publik.
Bagi YLBHI dan 18 LBH kantor, pemaksaan pasal-pasal anti demokrasi tersebut bertentangan dengan tujuan politik-hukum pemidanaan yang ditetapkan. Pemerintah dan DPR beragumentasi bahwa RKUHP hadir untuk mendekolonialisasi KUHP yang merupakan warisan kolonial. Namun, hal demikian terbantahkan dengan sendirinya karena sifat kolonial justru berasal dari pasal-pasal yang anti demokrasi dan masih diakomodir oleh penguasa. Maka jauh panggang dari api, sah kita menyebut RKUHP sebagai produk hukum yang justru linear dengan politik-hukum pemerintahan kolonial di masa lampau. Alih-alih mendekolonialisasi, RKUHP justru merekolonialisasi politik hukum pemidanaan Indonesia.
Kami juga menganggap bahwa produk hukum ini diskriminatif karena subjek pengaturan pidana hanya ditujukan kepada rakyat dengan segala ketentuan batasan dan larangan-larangannya. Oleh karena itu, ancaman over-kriminalisasi yang terkandung dalam RKUHP menyebabkan #SemuaBisaKena.
Masyarakat sipil juga dipertontonkan dengan sikap anti demokrasi oleh wakil rakyat. Respon Bambang Wuryanto, Ketua Komisi III DPR RI kepada Aliansi Reformasi KUHP, pada saat forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) beberapa waktu lalu menunjukan, bahwa DPR memilih menutup mata dan telinga terhadap banyaknya kritik dan masukan dari masyarakat. Upaya kejar terget anggota DPR tersebut menunjukkan rendahnya etika pejabat publik. Hal ini menegaskan indikasi RKUHP berpotensi digunakan secara serampangan karena buruknya budaya hukum pejabat publik. Hal tersebut makin membuat terang bahwa tidak ada keberpihakan wakil-wakil rakyat kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Bahkan, kondisi ini menegaskan bahwa kemunduran demokrasi dan lemahnya pemenuhan HAM adalah buah dari demokrasi keterwakilan Indonesia yang masih berwatak feodalistik.
Berangkat dari uraian diatas, YLBHI dan 18 LBH Kantor mendesak kepada Presiden dan DPR RI untuk:
1. Menunda pengesahan RKUHP hingga tidak ada lagi pasal-pasal bermasalah yang diakomodir di dalamnya;
2. Menghapus pasal-pasal anti demokrasi dalam RKUHP;
3. Memastikan proses pembahasan yang transparan dan partisipatif; dan
4. Mendengarkan dan menerima masukan, aspirasi dan kritik dari masyarakat sipil.(021)